Sejarah Politik Irak – Irak, sebagai salah satu negara yang terletak di Timur Tengah, memiliki sejarah politik yang penuh gejolak, perubahan besar, dan konflik yang mengarah pada pembentukan negara modern yang ada saat ini. Dari era monarki yang berakhir dengan kudeta militer, hingga perjalanan panjang menuju republik dan tantangan politik pasca-invasi, sejarah politik Irak mencerminkan transformasi yang rumit antara tradisi politik dan modernitas.
Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi perjalanan sejarah politik Irak, mulai dari masa Monarki Irak, era Republik, hingga periode era modern yang penuh tantangan dan perubahan.
1. Era Monarki Irak: Kerajaan yang Didirikan pada 1921
1.1 Pembentukan Kerajaan Irak
Setelah jatuhnya Kekaisaran Ottoman pada akhir Perang Dunia I, wilayah yang kini dikenal sebagai Irak berada di bawah mandat Britania Raya. Pada tahun 1921, Irak menjadi kerajaan yang merdeka di bawah kekuasaan Raja Faisal I, seorang pemimpin dari Arab Hijaz yang dipilih oleh pemerintah Inggris. Faisal I diangkat sebagai raja pertama Irak setelah wilayah ini dibentuk dengan menggabungkan wilayah-wilayah yang sebelumnya terpisah: wilayah Bagdad, Mosul, dan Basra.
Kerajaan Irak awalnya didirikan dengan bantuan besar dari Inggris, yang masih memegang pengaruh signifikan dalam urusan luar negeri dan pertahanan negara. Meskipun Irak menjadi negara merdeka, politik kolonial Inggris tetap membayangi kehidupan politik negara ini. Pada masa ini, monarki Irak dipandang sebagai simbol otoritas negara, tetapi ada ketegangan antara keinginan untuk kedaulatan nasional dan campur tangan asing.
1.2 Dinamika Politik dalam Monarki
Pada masa pemerintahan Raja Faisal I dan penerusnya, terutama Raja Ghazi (1933-1939), Irak mengalami sejumlah tantangan dalam membangun struktur politik dan ekonomi yang stabil. Turbulensi politik, konflik etnis, dan keinginan untuk kemerdekaan dari pengaruh Inggris menjadi tema utama.
Pada periode 1940-an, konflik politik mulai semakin menguat, diwarnai oleh ketegangan antara pihak-pihak yang pro-Britania dan mereka yang mendukung kemerdekaan penuh dari pengaruh asing. Monarki Irak terperangkap dalam pertarungan antara politik tradisional dan modernisasi.
2. Transisi ke Republik: Revolusi 1958 dan Pembentukan Negara Republik
2.1 Revolusi 14 Juli 1958
Puncak ketegangan politik di bawah monarki terjadi pada 14 Juli 1958, ketika Jenderal Abdul Karim Qasim bersama dengan sekelompok perwira militer lainnya menggulingkan Raja Faisal II dan mengakhiri dinasti Hashemite yang telah berkuasa di Irak selama hampir 40 tahun. Revolusi ini, yang dikenal sebagai Revolusi 14 Juli, menandai berakhirnya Kerajaan Irak dan lahirnya negara republik.
Jenderal Qasim, yang mengangkat dirinya sebagai pemimpin negara, mendeklarasikan Republik Irak dan menghapuskan sistem monarki. Sebagai pemimpin baru, Qasim berjanji untuk menjalankan kebijakan yang lebih inklusif dan mendekatkan Irak dengan ideologi nasionalisme Arab serta sosialisme. Ia juga memperkenalkan reformasi agraria dan kepemilikan nasional atas sumber daya alam, seperti minyak.
Namun, meskipun Qasim mendapatkan dukungan dari banyak kalangan, pemerintahannya tidak bertahan lama. Ia menghadapi perlawanan dari berbagai kelompok, termasuk partai Ba’ath, yang kemudian menjadi kekuatan dominan dalam politik Irak.
2.2 Kekuasaan Partai Ba’ath
Pada tahun 1963, partai Ba’ath yang dipimpin oleh Ahmad Hassan al-Bakr dan Saddam Hussein menggulingkan pemerintahan Qasim. Ba’ath, dengan ideologi nasionalisme Arab dan sosialisme, mulai memainkan peran penting dalam politik Irak. Revolusi ini membuka jalan bagi pembentukan pemerintahan otoriter yang dipimpin oleh militer dan partai politik yang kuat.
3. Era Otoritarian dan Pemerintahan Saddam Hussein
3.1 Kenaikan Kekuasaan Saddam Hussein
Pada tahun 1979, Saddam Hussein yang sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden di bawah pemerintahan al-Bakr, mengambil alih kekuasaan setelah al-Bakr mengundurkan diri. Saddam mengkonsolidasikan kekuasaannya dengan menjadi presiden dan mulai membangun regimen otoriter yang dikenal karena penindasan politik yang keras, kontrol yang ketat terhadap oposisi, serta penggunaan militer dan polisi rahasia (Mukhabarat) untuk menjaga kekuasaannya.
Saddam Hussein mengklaim dirinya sebagai pemimpin yang membela nasionalisme Arab dan menguatkan posisi Irak di dunia Arab dan internasional. Namun, di dalam negeri, pemerintahan Saddam dikenal dengan kediktatorannya yang keras dan penindasan terhadap kelompok-kelompok oposisi, baik itu kelompok Syiah, Sunnah yang tidak mendukung rezim, maupun Kurdi yang mencari otonomi.
3.2 Perang Iran-Irak dan Perang Teluk
Di bawah pemerintahan Saddam, Irak terlibat dalam Perang Iran-Irak (1980-1988), yang merupakan konflik berdarah yang menewaskan ratusan ribu orang dan menyebabkan kerusakan ekonomi yang besar. Pada awal 1990-an, Saddam juga menginvasi Kuwait pada tahun 1990, yang menyebabkan Perang Teluk (1990-1991) dengan koalisi internasional yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Invasi ini berakhir dengan kekalahan Irak dan memperburuk kondisi ekonomi serta internasional negara ini.
3.3 Kejatuhan Rezim Saddam Hussein
Pada tahun 2003, invasi Irak yang dipimpin oleh Amerika Serikat menggulingkan Saddam Hussein dari kekuasaannya. Invasi ini dilakukan dengan alasan bahwa Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal dan mendukung kelompok teroris, meskipun bukti-bukti yang ada kemudian terbukti tidak memadai. Jatuhnya Saddam Hussein menandai berakhirnya era otoritarianisme di Irak dan membuka babak baru dalam sejarah politik negara tersebut.
4. Era Modern: Pasca-Saddam Hussein dan Tantangan Demokrasi
4.1 Transisi ke Pemerintahan Demokratis
Setelah kejatuhan Saddam Hussein, Irak mengadopsi sistem demokrasi parlementer yang baru, berdasarkan Konstitusi Irak 2005. Negara ini mulai mengadakan pemilu multipartai untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (parlemen) dan kepala negara. Demokratisasi ini didorong oleh upaya untuk mengakhiri pemerintahan otoriter dan menciptakan sistem politik yang lebih inklusif.
Namun, transisi ke demokrasi di Irak tidak berjalan mulus. Negara ini menghadapi berbagai tantangan, termasuk ketegangan sektarian antara kelompok Syiah, Sunnah, dan Kurdi, yang terus membayangi proses politik. Selain itu, kelompok militan seperti ISIS juga berhasil merebut sebagian besar wilayah utara dan barat Irak, memperburuk keadaan keamanan dan stabilitas negara.
4.2 Ketegangan Politik dan Keamanan
Sejak 2003, Irak terus menghadapi ketidakstabilan politik, dengan beberapa pemilu yang penuh dengan konflik, ketidakpuasan sosial, serta kekerasan sektarian. Protes besar terjadi pada tahun 2019 dan 2020, dengan rakyat Irak turun ke jalan untuk menuntut perubahan politik, pemberantasan korupsi, dan perbaikan dalam pemerintahan. Meskipun ada kemajuan dalam pembentukan struktur demokratis, Irak masih terjebak dalam krisis politik yang melibatkan pemilihan umum yang tidak selalu bebas dan adil, serta pengaruh besar dari kelompok-kelompok bersenjata dan milisi.
4.3 Rebuilding dan Stabilitas Masa Depan
Irak saat ini berusaha untuk bangkit dari kehancuran perang dan konflik yang melanda selama beberapa dekade. Pembangunan ekonomi, penegakan hukum, dan rekonsiliasi sektarian menjadi tantangan besar yang harus dihadapi oleh pemerintah Irak. Di sisi lain, masyarakat Irak semakin menuntut akuntabilitas, transparansi, dan perubahan dalam sistem politik.
Sejarah politik Irak adalah perjalanan panjang dari monarki menuju republik yang penuh dengan perubahan, tantangan, dan konflik. Dari pemerintahan otoriter Saddam Hussein yang memerintah dengan tangan besi hingga transisi menuju demokrasi parlementer pasca-Saddam, negara ini terus berjuang untuk menemukan jalannya menuju stabilitas dan kemajuan.

